4 Agustus 2015
Tidak menygka akan hidup di tanah Sumatera. Tidak ada lintasan pikiran, angan-angan atau mimpi hidup di Sumatera Utara. Sebagai tukang mimpi, semua harapan sudah di tata jauh-jauh hari semenjak kecil. Ingin ini itu dsb. Sisi positif banyak bermimpi, memiliki ribuan kata motivasi untuk diri. Mimpi gratis tidak bayar, tinggal mendorong diri sendiri "Mau bergerak atau tidak."
Kata motivasi yg sampai sekarang sering menyemangati
"Tidak ada kesuksesan yg disertai perilaku santai tanpa usaha."
"Berani bermimpi berani kerja keras."
Banyak mimpi yg tidak tercapai sih, tapi biarlah..dengan bermimpi hidup semakin hidup. Selalu bersemangat untuk menjalani hari.
Banyak mimpi yg tidak tercapai sih, tapi biarlah..dengan bermimpi hidup semakin hidup. Selalu bersemangat untuk menjalani hari.
Kondisi geografi pulau Jawa, khususnya kawasan pantai utara Jawa, berupa tanah datar. Hamparan sawah yg sering terlihat di sisi kanan dan kiri jalan. Tiba-tiba nasib berkata harus tinggal di Sumut. Hamparan sawah yg sering terlihat beganti dengan rimbun tanaman kelapa sawit, karet, cokelat. Tanaman perkebunan yg tidak pernah dilihat sebelumnya. Pertama kali tahu pohon kelapa sawit itu ketika kuliah, tingkat final lagi. Ternyata ada beberapa pohon kelapa sawit di jalan Otista bersahabat Tugu Kujang.
Indonesia beritu bermacam-macam kultur dan budaya. Hal sepele tapi menarik perhatian adalah wacana atap rumah. Sudah menjadi hal lumrah bahwa atap rumah itu terbuat dari genting tanah liat. Rumah ibu di Jepara, rumah tetangga, formasi rumah di sepanjang jalan dsb. Ternyata tidak halnya ketika menginjakkan kaki di Sumut. Kebanyakan atap rumah bukan terbuat dari genting tanah liat tapi dari asbes atau seng. Dari sederetan rumah-rumah hanya dapat dihitung jari rumah beratap genting. Kenapa? Barangkali di Sumut sulit ditemukan tanah liat.
Lambat laun mulai terbiasa alam dengan Sumut. Sedikit demi sedikit mulai jatuh hati terutama dengan sayur daun ubi (singkong) tumbuk. Bagi yg tidak biasa niscaya aneh, kok daun singkong di tumbuk halus sih. Tapi bagi aku sayur yg enak. Ada rasa sumir pahit daun singkong berpadu harum bunga kecombrang dan buah rimbang. Kalau Shafa suka makanan Sumut yg diberi ulegan cabe merah: ikan, tempe, teri, kentang dsb.
Kuliner Sumatera yg ditumbuk atau diuleg-uleg tersebut memakai cobek watu untuk menghaluskannya. Hal sepele juga yg menarik perhatian adalah cobek watu ini. Cobek watu di Sumut beda dengan cobek watu Jawa. Kenapa beda? Mungkin alasannya cobek diubahsuaikan dengan kebiasaan mengolah makanan setempat.
Cobek sumatera berbentuk watu yg dipahat melebar. Anak cobek atau ulegannya berupa watu kali bulat. Awalnya asing dengan cobek jenis ini. Gimana sih cara mengulek bumbu, kok memakai watu kali bulat? Susah untuk memegang si batu. Lama kelamaan malah jatuh hati dengan si cobek dan batu. Bumbu menyerupai cabe merah gampang dihaluskan dengan santunan cobek dan watu bulat. Cara menguleg cabai, dengan memaju mundurkan watu memakai tangan kanan. Kalau tenaga tangan kurang berpengaruh dapat dibantu tangan kiri secara bersamaan. Ciri cabe yg sudah halus adalah tidak terlihat lagi bulatan bijinya. Demikian juga untuk menghaluskan bumbu yg lain tinggal memegang watu dengan tangan kanan, agak ditekan sambil didorong maju- mundur.
Tips menguleg bumbu, uleg bumbu yg paling sulit halus terlebih dahulu gres sesudah bumbu tersebut halus dilanjutkan menguleg bumbu lain yg lebih mudah. Seperti contohnya uleg cabai terlebih dahulu gres bumbu lain. Kalau bumbu memakai ketumbar, uleg terlebih dahulu gres kunyit, jahe dan bumbu lainnya.
Betapa kaya Indonesisaya
Indonesia beritu bermacam-macam kultur dan budaya. Hal sepele tapi menarik perhatian adalah wacana atap rumah. Sudah menjadi hal lumrah bahwa atap rumah itu terbuat dari genting tanah liat. Rumah ibu di Jepara, rumah tetangga, formasi rumah di sepanjang jalan dsb. Ternyata tidak halnya ketika menginjakkan kaki di Sumut. Kebanyakan atap rumah bukan terbuat dari genting tanah liat tapi dari asbes atau seng. Dari sederetan rumah-rumah hanya dapat dihitung jari rumah beratap genting. Kenapa? Barangkali di Sumut sulit ditemukan tanah liat.
Atap rumah dari asbes |
perkebunan kelapa sawit |
Lambat laun mulai terbiasa alam dengan Sumut. Sedikit demi sedikit mulai jatuh hati terutama dengan sayur daun ubi (singkong) tumbuk. Bagi yg tidak biasa niscaya aneh, kok daun singkong di tumbuk halus sih. Tapi bagi aku sayur yg enak. Ada rasa sumir pahit daun singkong berpadu harum bunga kecombrang dan buah rimbang. Kalau Shafa suka makanan Sumut yg diberi ulegan cabe merah: ikan, tempe, teri, kentang dsb.
Kuliner Sumatera yg ditumbuk atau diuleg-uleg tersebut memakai cobek watu untuk menghaluskannya. Hal sepele juga yg menarik perhatian adalah cobek watu ini. Cobek watu di Sumut beda dengan cobek watu Jawa. Kenapa beda? Mungkin alasannya cobek diubahsuaikan dengan kebiasaan mengolah makanan setempat.
Cobek sumatera berbentuk watu yg dipahat melebar. Anak cobek atau ulegannya berupa watu kali bulat. Awalnya asing dengan cobek jenis ini. Gimana sih cara mengulek bumbu, kok memakai watu kali bulat? Susah untuk memegang si batu. Lama kelamaan malah jatuh hati dengan si cobek dan batu. Bumbu menyerupai cabe merah gampang dihaluskan dengan santunan cobek dan watu bulat. Cara menguleg cabai, dengan memaju mundurkan watu memakai tangan kanan. Kalau tenaga tangan kurang berpengaruh dapat dibantu tangan kiri secara bersamaan. Ciri cabe yg sudah halus adalah tidak terlihat lagi bulatan bijinya. Demikian juga untuk menghaluskan bumbu yg lain tinggal memegang watu dengan tangan kanan, agak ditekan sambil didorong maju- mundur.
Tips menguleg bumbu, uleg bumbu yg paling sulit halus terlebih dahulu gres sesudah bumbu tersebut halus dilanjutkan menguleg bumbu lain yg lebih mudah. Seperti contohnya uleg cabai terlebih dahulu gres bumbu lain. Kalau bumbu memakai ketumbar, uleg terlebih dahulu gres kunyit, jahe dan bumbu lainnya.
Cobek sumatera dengan anak watu kali bulat |
Cobek watu yg biasa digunakan di pulau Jawa |
Betapa kaya Indonesisaya
***
Resep Kuliner Cobek Sumatera Vs Jawa
4/
5
Oleh
DA46